MEREKA MENGIKATKU
17.25 | Author: Alunan Vektor Allah
Semakin hari. Kurasa diriku semakin elok dan mempesona. Semakin menggugah dan menarik di mata semuaya. Semakin banyak diminati dan dipuja-puja. Bahkan. Disembah. Melebihi sembahan pada Tuhan sekalipun.
Ya, Diriku merupakan sumber kepuasan. Simbol dari sesuatu yang dikejar-kejar. Motivasi setiap orang untuk melakukan pekerjaan. Demi aku orang akan melakukan apa saja. Memang benarlah, bahwa semakin hari, semakin banyak saja yang mencariku. Melunta-lunta ingin mendapatkan dan memilikiku. Apapun cara mereka.
Terkadang aku tersenyum melihat tingkah mereka dalam mengejarku. Busuk.




Semakin hari. Tubuhku makin berisi. Jemariku, atau apalah orang mengatakannya semakin lama makin lentik dan gemulai penuh kecantikan. Tubuhku makin jangkung. Lenganku makin indah menjuntai. Dan, warna kulitku yang semakin kuning cerah. Itu membuat mata-mata yang melihatku semakin membelalak saja. Dan liur-liur itu...
Kusadari sekali. Tanpaku, dunia takkan menjadi indah. Tanpaku, dunia takkan hidup. Tanpaku, dunia akan kering kerontang tanpa ada gairah. Terlebih negeri-negeri timur laut Hindia ini. Aku sudah menjadi sumber kehidupan bagi siapa saja yang mau hidup. Aku adalah inspirasi para pekerja dalam bekerja, para kuli dalam mengucurkan peluhnya, pedagang dalam menjemur tubuhnya dan ah... siapa saja.
Angin menabrakkan dirinya padaku dengan kasar, membangunkan syaraf-syarafku dan menyeretnya kepada dunia kesadaran. Semilirnya mengibarkan kilau-kilau diriku. Membuatku semakin tampak indah.
Ketika akhirnya kusadari aku takkan abadi. Ya, aku teringat akan nasibku setelah ini.
Ini sudah waktunya. Sudah waktunya mereka mengambilku. Beberapa saat lagi dengan berbagai binar, mereka akan mengambilku. Ada ceria, ada rakus, dan mungkin... ada juga syukur. Dan jika sudah begini, maka aku akan bersiap-siap untuk... mati.
Kehidupanku takkan lama lagi. Aku merenunginya, karena kutahu sebentar lagi aku sudah takkan bisa merenung lagi. Anganku menyelami panjang perjalanannya.
Aku mengingat suatu kejadian. Ini terjadi beberapa bulan lalu. 9 April 2008.
Sebuah agenda rutin dilakukan oleh organisasi dunia itu. Beberapa negara anggota ASEAN berkumpul untuk menggelar suatu aksi pekan budaya. Bukan hanya wakil dari negara-negara ASEAN pesertanya, tapi seluruh dunia. Dan semua yang datang itu akan membahas tentang diriku. Datang jauh-jauh hanya untuk membahasku? Naif di mataku. Namun karena begitu berharganya diriku di mata mereka, mereka rela lakukan itu semua. Atau sebuah pertaruhan besar terjadi. Mereka semua akan mati. Dan asal tahu saja, pawai itu pun memamerkan tubuh, keindahan, dan keistimewaan-keistimewaanku.
Huh... Apa mereka belum sadar kalau tanpa dipamerkan pun aku sudah sangat diminati? Ya, mungkin saja mereka punya ide-ide cerdas yang baru seperti tahun-tahun sebelumnya salam mengurusi diriku.
Mereka memiliki seorang penanggung jawab. Kupikir, tetu saja mereka harus memiliki penanggung jawab dalam melakukan aksi pekan budaya tingkat dunia ini. Terlalu besar resiko yang mereka ambil. Dan aku bisa mencium bahwa mereka punya rencana lain.
Aku lupa berapa lama mereka melakukan aksi dan pawai itu.
Beberapa lama mereka diterima menemui Dr. Anton Apriyantono, setelah melakukan pawai tadi, yang bertempat di Departemen yang dimilikinya. Beliau adalah seorang menteri yang benar-benar hanya mengurusi diriku. Kerja keras yang dilakukan adalah untuk memikirkan masa depanku dan masa depan teman-temanku. Tentu saja itu dilakukan bukan untukku. Melainkan untuk dirinya sendiri dan jutaan orang di negeri ini. Ya, dia adalah menteri pertanian.
Bus itu berjalan menuju Kantor Sekretariat ASEAN. Mereka akan mengadakan sebuah penolakan besar-besaran untuk sebuah keputusan yang diambil tahun lalu di Filipina. Aksi penolakan rekayasa genetika. Satu yang kutahu tentang Filipina, dia tak sebagus dan selincah Thailand dan Vietnam dalam memperlakukanku. Hal itu kudengar dari teman-teman yang menjadi bahan percobaan orang-orang ASEAN itu. Dan itu memang terbukti seiring makin pesatnya pasaran Thailand dan Vietnam di mata dunia. Dan negeriku, kuharap suatu saat dia akan maju menjadi pesaing berat mereka.
Aku heran dengan mereka. Bukankah tahun lalu mereka sudah melakukan aksi yang sama di Filipina? Namun hingga kini mereka masih melakukannya. Ini merupakan bentuk ketidak terimaan mereka, ya, aku bisa mengerti. Namun apa mereka tidak sadar kalau posisi mereka tidak terlalu kuat? Mereka hanya warga negara asing yang sudah jelas tidak akan diterima unjuk rasanya oleh Polda Metro Jaya.
Dan aku bisa tahu kalau di belakang mereka empat intel polisi yang sebentar lagi akan menggiring dan menangkap mereka di kantor polisi. Gosipnya, mereka dideportasi.
Ah... Persetan dengan semua itu!
Walaupun sampai sebegitunya obsesi mereka terhadapku, toh, semua itu benar-benar tak diperuntukkan untukku. Mereka memang egois dan hanya memikirkan diri mereka sendiri. Hatiku gerimis.
Angin semakin kencang saja rupanya, dan aku hampir tak kuat menyangga tubuhku yang melemah. Waktu makin sedikit...
Aku tak menderita, aku juga tak tersiksa, namun mengapa waktu-waktu ini begitu menegangkanku. Aku teringat kembali akan sesuatu.
Saat itu, ketika aku memiliki pesaing. Benar-benar pesaing yang sekarang sudah mengambil hati mereka. Terutama IRRI. Tahu artinya kalau IRRI sudah terambil hatinya, maka dia akan tersebar ke seluruh penjuru dunia dan melambung. Yah, aku harus merelakan diri kalau suatu saat aku sudah tidak laku lagi.
Kuakui, dia memang lebih cantik. Dan yang paling menarik bagi mereka adalah usianya yang pendek. Sosoknya yang jangkung berdiri kokoh dan tegak dengan tinggi 95 - 110 cm. Warna kakinya lebih ranum, cerah dan muda dibandingka kakiku yang mungkin pernah mengalami keriput. Tubuhnya secara keseluruhan selalu segar dan basah, jauh lebih montok dari diriku. Daun telinga dan lidah daun tidak berwarna. Pucatnya semakin memancing gairah. Daunnya berwarna hijau tua dan permukaan berbulu halus mulus, tak seperti diriku yang mungkin sedikit kasar seperti duri. Posisi daun tegak dan daun bendera juga tegak. Yang paling menarik adalah jemarinya itu, ah... apa saja orang menyebutnya. Yang jelas kulihat miliknya jauh lebih lentik dari milikku. Jemari kakinya pun lebih panjang sehingga dia lebih berpotensi untuk memiliki kulit yang lembab. Warnanya kuning bersih. Malai panjangnya menyediakan lebih banyak pemuas nafsu orang-orang daripada malai yang menjuntai di tubuhku.
Kuperkenalkan. VTUB tersebut bernama Fatmawati. Tepatnya, Padi Fatmawati.
Dia selalu minta dimanja. Banyak sekali yang dia minta dalam memperlakukannya. Atau dia akan menggagalkan diri memuaskan nafsu mereka. Trik yang cantik.
Tak apa aku tak menjadi varietas yang paling unggul. Toh, keterpurukan jenisku merupakan bukti perkembangan zaman. Bukti kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Mereka semua mengharapkan agar usia jenis-jenisku semakin pendek saja. Pendeknya usia kami, semakin cepat mereka memiliki kami, dan itu merupakan pertanda kepuasan mereka. Tapi tak apa kami semua berkorban demi kemakmuran dan terciptanya keinginan mereka.
Lembaga tingkat regional itu yang menemukan pesaingku tadi. Karena aku tahu mereka kesemuanya itu sumber hidupnya ada padaku. Mereka mengadakan kerjasama salah satunya di bidang diriku, tak lebih adalah demi menekan sedalam-dalamnya yang namanya kerugian. Karena menurut mereka, kerja sama itu jauh lebih menguntungkan dan jauh lebih indah dari pada sekedar bekerja keras sendiri. Prinsipku yang mereka serap. Karena aku takkan bisa indah jika hidup sendiri. Harus ada kerjasama. Harus selalu bekerja sama.
Ya, mereka sering mengadakan kunjungan antar negara hanya untuk meneliti makhluk kecil sepertiku. Mereka bertukar penemuan, bertukar teknologi, dan mengembangkan diri bersama-sama.
Kini, sejak beberapa menit yang lalu, mendung menutupi pesona matahari. Rupanya angin tak hanya menerpaku tapi juga mendung itu. Dia mengurangi kesempatanku untuk berfotosintesis. Mungkin mendung itu mengerti kalau aku sudah bukan waktunya lagi berfotosintesis. Aku takkan memperoleh manfaatnya, karena... sudah tak ada waktu.
Aku mencoba menerbangkan ingatanku ke hal-hal yang menyenangkan. Kucari-cari ke dalam samudera khayalku apa saja yang membuatku bahagia. Aku teringat sesuatu. Tidak. Sesuatu itu ada dua. Tepatnya dua penghargaan besar terhadapku. Pengabadian yang menguras air mata haruku.
Ya, akan kuceritakan satu persatu.
Pertama, tentang SEA Games di Vietnam. Itu tahun 2006.
Bukan. Aku tak melihat secara langsung kejadiannya. Ya, nenek moyangkulah yang menurunkan berita ini kepada generasi-generasi sesudahnya termasuk aku.
Aku bahagia dan merasa begitu terhormat. Pada acara pembukaan, Vietnam banyak mempertunjukkan simbol-simbol budayanya. Pakaian, kesenian, tari. Dan yang kubahas di sini... mereka... menarikanku. Manusia-manusia itu menggoyang-goyangkan tubuhnya, sebagai arti diriku. Mereka menamai tarian itu dengan namaku. Lucu juga.
Aku mereka ambil sebagai wakil dari warna-warna yang lain. Aku merupakan simbol kemakmuran dari warna-warna itu. Yah, banyak yang kagum melihat tarian itu.
Itu semua berawal dari cerita kedua yang akan kuceritakan. Tentang sebuah simbol yang sudah mendunia. Simbol yang sangat kusenangi dan kupuja-puja. Yang takkan kulupa selamanya. Karena simbol itu membuat hidupku berarti, bersemangat, dan bergairah.
Mungkin mereka terpesona padaku sehingga aku dijadikan simbol perkumpulan-perkumpulan itu. Atau, mereka malah memuja-mujaku. PERBARA, aku lebih senang menyebutnya begitu. Ya, ada dua alasan untuk ini. Pertama, karena aku sudah terlalu mencintai bangsaku dan bahasanya. Ini merupakan bentuk terima kasihku karena selama ini memberiku tempat, makan dan kehidupan. Aku mencintai bahasaku meski aku tak pernah mengutarakan satu kata pun, bahkan satu huruf pun dari mulutku dengan menggunakan bahasa itu, karena memang aku tak memilikinya. Namun aku bisa mendengar... dan setiap hari memang mendengar semua orang berbicara dengan bahasa yang indah itu. Alasan kedua mengapa aku lebih senang menyebut organisasi itu PERBARA adalah karena... kepanjangan istilah asing mereka itu... sulit. Asso... assosi... assosias... aaarghh!!! Hanya manusia yang bisa mengungkapkan dengan jelas sebuah nama Association of South East Asian Nations. Sedangkan PERBARA, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara lebih familiar di kaum bisu seperti kami.
Aku menyukai orang-orangnya, menghormati anggota-anggotanya, dan mendukung kemajuan-kemajuannya. Yang paling kubanggakan, adalah mereka menjadikan kawasan mereka menjadi kawasan yang damai, bebas, dan netral atau mereka menyebutnya ZOPFAN. Karena itu artinya, negara-negara ini benar-benar menjanjikan kemakmuran. Akan benar-benar dijadikan sebagai lumbung padi untuk rakyat, bukan penjajah. Ladang kehidupan yang subur dan sejatera akan terealisasikan. Yah, nasib yang menjanjikan untuk generasi-genersi sesudahku.
Sayangnya... sambil menikmati hangatnya cahaya yang mengintip dari balik mendung, aku mengingat nasibku sebentar lagi. Mungkin aku takkan mengetahui komunitas yang akan mereka bentuk... tujuh tahun lagi... waktuku sudah tak ada...
Aku menyesal...
PERBARA. Atau, baiklah ASEAN.
Aku mereka jadikan sebagai perlambang persatuan dan kemakmuran.
Aku diwarnai kuning. Pertanda prosperity, mereka menyebutnya begitu. Warna kuning adalah fase hidupku yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Keriputnya kulitku merupakan kepuasan mereka.Tanda bahwa mereka akan kenyang. Semakin cepat spesiesku menguning, maka mereka akan semakin memuja-mujaku.
Aku dikombinasikan dengan warna-warna yang lain. Ada semburat merah, bukan hanya semburat, namun mereka menggambarku di tengah warna merah yang memenuhi lingkaran. Merah darah. Pertanda semangat, dinamisme dan keberanian. Warna yang bisa menggentarkan lawan jika digabungkan degan warnaku. Aku teringat akan keberanian manusia dalam mempertaruhkan darahnya. Banyak sekali pertumpahan darah di bumi ini. Bahkan sampai muncul istilah mati satu tumbuh seribu. Di sombol asli mereka, maksudku bukan benderanya, warna merah adalah warna yang mendominasi. Salut. Keberanian semacam gerakan nonblok. Ah... aku kembali teringat Zone of Peace, Freedom and Neutrality.
Aku menggeliat. Supaya xilem dan floem yang bertanggung jawab terhadap sirkulasiku berjalan lancar. Kuarahkan bagian atasku pada matahari yang kini sudah beranjak mendung darinya. Bulat kulihat.
Warna merah yang mengelilingi diriku bentuknya juga bulat. Aku tahu kalau bulat merupakan pertanda persatuan. Bayangkan saja, bila tangan sedang bergandengan. Berapapun tangan bergandengan, ratusan, ribuan, jutaan... jika semua bertaut dan membentuk sudut terlebar, maka akan menjadi lingkaran. Tidak akan membentuk yang lain. Pemikiran yang sangat fantastis. Dan kuharap persatuan itu benar-benar menjadi suatu persatuan. Dan. Persahabatan.
Lalu, di pinggiran keberanian yang berkobar itu, ada selingan sedikit lingkaran putih. Terlihat abstrak karena memang dia tak mendominasi. Keberanian yang brutal tanpa kesucian memang tak ada artinya. Kobar semangat tanpa ketulenan memang tak berguna. Tak perlu besar, kesucian dan ketulenan itu pasti ada.
Dan mereka sampai berfikir sejauh itu hanya untuk hanya sekedar merancang sebuah simbol. Evolusi manusia yang canggih.
Satu lagi. Kami semua dilindungi dan dikelilingi oleh warna biru. Biru tua yang teduh. Biru itu, kata mereka merupakan simbol keamanan dan kestabilan. Biru dijadikan warna dasar bendera mereka, namun hanya berbentuk tali melingkar bagi simbol asli mereka. Aku, kemakmuran, keberanian, dan kesucian takkan bertahan lama jika tak ada keamanan dan kestabilan. Kombinasi yang sempurna.
Aku begitu bahagia dijadikan satu dengan arti-arti yang dahsyat itu. Yang paling membahagiakan adaah ketika mereka menjadikan aku satu-satunya simbol makhluk hidup di sana. Aku mendominasi setiap mata yang melihat karena aku adalah yang paling indah. Setiap mata yang memandang simbol itu, pasti pertama akan melihatku. Aku bisa tumbuh dan berkibar.
Selama aku dan kawan-kawanku berkibar, dan tetap menghijau... mereka akan tetap makmur...
Mereka mengikatku. Mereka gambarkan aku dalam keadaan terikat. Aku diikat dengan kesepuluh temanku, tepatnya saudaraku. Sepuluh saudara merupakan cermin kesepuluh negara yang bersahabat itu. Aku menjadi maskot mereka karena memang aku konsumsi utamanya. Di awal sering kukatakan bahwa aku adalah sumber kehidupan negara-negara tenggara dunia ini. Ikatan itu abstrak. Tak ada tali...
Hingga aku... tak terkekang. Tak ada tali...
Menandakan mereka tak terikat secara ketat. Mereka tetap bebas. Ada ruang untuk bergerak, dan ada kesempatan untuk berkembang. Aku tak tahu apakah ini merupakan arti bahwa mereka tak menutup kemungkinan untuk menerima anggota baru atau tidak.
Ah...
Aku merasa sangat tersanjung.
Itulah sebababnya, betapa resahnya diriku ketika dua tahun lalu Departemen Luar Negeri Negara ini, mengadakan lomba logo perayaan HUT ASEAN ke 40. Aku begitu gelisah akan diadakannya lomba itu. Dengan tema One ASEAN at the Heart of Dynamic Asia. Mereka menjanjikan hadiah yang besar bagi para pemenangnya. Mereka juga menjanjikan penghargaan yang berbobot. Tidak hanya itu, lebih parahnya... yang mengadakan lomba ini bukan saja mentri deplu yang ada di Indonesia, tapi juga tingkat regional. Dan tentu saja aku sangat yakin kalau sudah tingkat ASEAN yang mengadakan lomba, maka hadiah yang dijajikan akan jauh lebih besar dan itu akan menarik peserta-peserta untuk berlomba-lomba merancang logo ASEAN.
Aku takut. Aku takut sekali kalau suatu saat aku akan diganti. Aku akan musnah, dan aku akan dihilangkan. Keinginanku untuk abadi akan terhempas sudah. Karena apalah artinya aku. Walau sebenarnya kutahu mereka tak mungkin semudah itu melupakan peranku.
Ternyata ketakutan itu tidak beralasan. Kegelisahan itu berhenti seiring tahunya diriku akan peraturannya. Dan saat itu... aku bisa bernafas lega.
Aku sangat puas ketika tahu kalau ternyata lambang ASEAN yang asli takkan diganti dengan yang baru. Lomba tersebut hanyalah sebuah lomba yang tak begitu berarti bagiku. Aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi. Karena aku benar-benar yakin dan percaya, ASEAN takkan semudah itu melupakanku. PERBARA bukanlah organisasi yang tak menghargai hal kecil yang berjasa. Bahkan mereka selalu memperlakukannya bak pahlawan. PERBARA selalu menjunjung hal-hal yang menjadi pilar kehidupan mereka. ASEAN bukan organisasi yang ketika sudah besar maka bagaikan kacang yang lupa pada kulitnya. ASEAN selalu berlandaskan pada persatuan kesepuluh negara yang sumber kehidupannya adalah sama. Yakni diriku.
Hari ini adalah hari ini. Sekarang adalah detik ini.
Ya, aku mulai berdegup kencang. Mungkin ini juga yang dirasakan sejak nenek moyangku dulu ketika tiba saatnya. Aku bisa mendengar... ya, dengan kencang aku bisa mendengar orang-orang itu datang. Langkah-langkah semangat mereka. Akan mengabisi masa hidupku. Menebas habis nyawa dan kehidupanku. Lalu setelah itu, hidup damai dengan memanfaatkan diriku. Aku sempat mendengar kalau aku akan diekspor. Setelah nyawaku tak ada.
Satu yang takkan mereka rampas dariku adalah... harapanku.
Aku benar-benar tegang. Kaki-kaki mereka telah memasuki kawasan habitat kami. Dan satu persatu mulai membunuh teman-temanku.
Aku takkan menyesal pernah hidup. Dan pernah berjasa.
Kusadari aku takkan bernah abadi. Bahkan hidupku hanya tinggal beberapa detik lagi. Saat mereka menemukan cantik tubuhku, lalu dengan semangat mereka cengkeram tubuh indahku dan dengan paksa mereka tebang diriku. Nafasku...
Sudah terurai satu-satu.
Aku memang takkan hidup lama. Dan kuharap keabadian diriku tetap ada.
Kuharap dengan lambang itu, aku akan abadi dan benar-benar abadi. Tidak hanya sekerdar sejarah yang hanya diperingati dan dipelajari. Tapi realitas yang dikembangkan dan berjasa bagi banyak orang.
Sekali lagi kuharap. Aku dan semua varietasku akan abadi. Dalam kibaran jaya bendera biru yang kokoh dalam tiangnya itu. Selama dia berkibar... maka dunia akan selamanya mengenangku.
Detak tubuhku benar-benar akan berhenti. Temanku yang beberapa inci dariku sudah terembas. Harapanku... terus kuluncurkan.
Walau tak begitu mengenalnya, namuan aku sangat mengerti cinta. Terlebih cinta pada saudara. Aku melihat ketulusan cinta di kibar bendera biru itu. Sudah seharusnya semua bersatu. Satu rumpun, satu kulit, satu tujuan...
Tak pantas dipisahkan. Aku juga pernah merasakannya pada saudara sejenisku.
Walaupun aku takkan abadi di kehidupan nyataku, setidaknya aku akan abadi berkibar di benderamu...
Maka...
Teruslah abadi...
Teruslah jaya...
PERBARAku...






Read More…
Surat Abah untuk Anak Gadisnya 2
00.51 | Author: Alunan Vektor Allah
Suatu hari, entah mengapa perasaan abah begitu gerimis. bukan duka anakku. namun hanya sedih yang segalanya bukan salahmu.
putri yang paling abah perlakukan istimewa selama ini,



Ya, neng. Ingatlah selama ini abah selalu memberimu lebih. Abah memperlakukan neng lebih istimewa dari pada putra-putra lelaki abah. mengapa? karena abah tahu suatu saat ini akan terjadi.
ketika seseorang merampasmu dari kepemilikan abah atasmu. Ketika itu memang orang itu lebih berhak dan berhak sepenuhnya atas dirimu. atas jiwa ragamu. Abah bangunkan kamar tidur yang lebih besar untukmu dari saudara laki-lakimu. Abah berikan lebih banyak waktu untukmu dari pada mereka. Bahkan ketika kalian semua belajar yang namanya "MENGALAH", maka abah ajarkan saudara -saudara laki-lakimu terlebih dahulu untuk mengalah padamu, Neng.
Abah tahu, waktu yang abah miliki untuk membesarkanmu lebih sedikit dari saudara-saudaramu. abah memiliki waktu seumur hidup untuk mendidik mereka. sedang dirimu... abah ditakdirkan untuk menyerahkan tugas itu kepada yang lebih berhak.
Laki-laki yang baru ini membuka mata abah.
abah terkesan dengannya. dan entah mengapa, abah merasakan kecenderungan yang mendalam di mata tulus laki-laki ini. ada sayang dan cinta di hati abah untuk dia. seperti halnya abah menyayangi anak-anak abah. entah mengapa ada keteduhan dalam kepercayaan yang besar untuknya dalam membahagiakanmu. dalam menuntun hidupmu.
Abah yakin inilah waktunya...
Abah tak ingin menyelesaikan surat ini...
Abah tak bisa...

maafkan aku Tuhan, jika Kau nilai ini perbuatanku yang sia-sia. walau sebenarnya sangat kutahu kalau ini sebenarnya sia-sia. menulis surat untuknya aku tak tahu memiliki tujuan apa. untuk sekedar menghibur diri atau memang terlalu merindukan hadirnya.
sungguh siapa yang tahan dengan semua ini Tuhanku...
Jasadnya masih belum kaku. orang-orang mengurusinya.
masih ada senyuman di raut mukanya. seperti senyum-senyum manja yang diberikan padaku setiap harinya.
menulis surat untuknya mungkin hanya Kau nilai bualan tak berguna.
Di saat aku menemukan seseorang yang berniat kujadikan untuknya...
Kau lebih tahu dengan cepat-cepat menjodohkannya dengan bidadaraMu di surga.
dalam keadaannya yang masih gadis.
ternyata Bidadara itu lebih beruntung. karena telah memiliki putriku yang istimewa. dalam keadaan sesuci-sucinya.
Padahal tadi dia masih berwudlu denganku Tuhan...
Padahal sempat menjawab iqamatku...
senyum itu yang terakhir...
mungkin dia tersenyum karena ingin mmbuktikan padaku kalau pilihanMu lebih baik dari pilihanku, Tuhan. dia telah melihat wajah sempurna laki-laki surga itu dalam senyum terakhirnya. dan dia ingin membuktikan padaku kalau dia benar-benar bahagia...
aku akan selalu mencintaimu putriku...
di hidup matimu...
salam cinta dari Abah...
selaksa bening cinta ibumu ketika melahirkanmu...


Read More…
buku-buku ini benar-benar mengubah hidupku
16.40 | Author: Alunan Vektor Allah









Diantara buku-buku yang wajib ain buat dibaca



Bukannya aku sudah membaca semua buku...

tapi yang ini yang paling berkesan bagiku.
yang lainnya tidak begitu...


Read More…
16.23 | Author: Alunan Vektor Allah
he..he...2 bukannya aku sudah membaca semua buku, tapai kujamin rugi klo g baca buku2 di bawah ini




Read More…